Masih belum
hilang dari ingatan kita gema peringatan sebuah mementum besar bagi bangsa ini.
Tepat 20 Mei lalu peringatan hari kebangkitan nasional masih disuarakan. Tak
melulu menandainya dengan rangkaian upacara dan aksi, ucapan selamatpun bertebaran
dijejaring sosial menandai peristiwa yang kini menjadi tolak sejarah pergerakan
pemuda Indonesia.
Tak bisa
langsung berkesimpulan, pemuda negeri ini paham akan makna hari kebangkitan
nasional,atau hanya sekadar melakukan perayaan meski pengguna jejaring sosial
di indonesia 67,4 % adalah pemuda usia 13-24 tahun (data checkfacebook.com).
***
***
Kembali kepada
sejarah bangsa, Kebangkitan Nasional ditandai
munculnya sebuah organisasi pemuda Boedi Oetomo. Didirikan 20 Mei 1908 oleh
Sutomo
dan para aktivis mahasiswa STOVIA pada waktu itu Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soeraji. Organisasi pemuda pertama yang ada di nusantara.
Berdirinya
Budi Utomo adalah momentum kebangkitan nasional yang mengbangkitkan semangat
persatuan, kesatuan dan nasionalisme Indonesia. Semangat untuk mencapai sebuah
pengakuan bangsa yang merdeka dan berdaulat dari kaum penjajah.
Bukan
tak ada halangan pergerakan pemuda pada masa itu. Batas batas nyata dan sekat
kedaerahan memang masih sangat terasa. Hingga muncul pemuda pemuda yang
menyatakan semua itu adalah sekat yang harus disatukan dan batas yang harus
ditanggalkan. Tak sampai disitu keterbatasan teknologi adalah hal nyata.
Jangankan jaringan internet, berkirim pesanpun harus dibatasi jarak. Namun
semua itu bukanlah hambatan karena jaringan kesamaan tekat dan pandangan sebuah
amunisi ampuh, meski jarak terbentang dari ujung Sabang sampai Marauke.
Berbeda
dengan kondisi saat ini. Survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) mencatat jumlah
pengguna internet di Indonesia akhir 2012 mencapai 63 juta orang atau 24,23
persen dari total populasi negara ini. Angka tersebut selalu meningkat dari
tahun ketahun. Perkembangan inilah yang membuat akses informasi semakin mudah
diakses oleh siapapun, dimanapun. Kini tak lagi berarti batas nyata dalam dunia
yang serba maya.
Alhasil
generasi saat ini adalah generasi yang seharusnya dapat berbuat lebih banyak,
untuk bangsanya melampaui pemuda yang 105 tahun lalu menyerukan kebangkitan meski
dalam keterbatasan. Namun faktanya generasi saat ini cendrung lebih apatis dan
berpikir pragmatis. Keterbukaan akses informasi menjadikan mereka berada dalam
batas batas yang mereka ciptakan sendiri. Menguasai teknologi hingga menghamba
pada hasil dari sebuah moderenisasi.
Interaksi
langsung yang dahulu dijunjung, kini tak hayal sebuah hal yang mahal. Antar
individu yang dahulu merasa senasib sepenangungan kini tak bertegur meski dalam
satu ruangan. Keasikan dengan perangkat perangkat gedzged keluaran terbaru yang tak pernah lepas dari genggam. Tak
sadar bahwa mereka telah melapaskan sebuah nilai nilai awal kebangkitan yang
dahulu dieluh eluhkan.
Sehingga
jelas sudah generasi muda saat ini yang memaknai kebangkitan nasional hanya
sebatas perayaan. Namun tidak paham sajarah apalagi esensi. Sekat nyata yang
dahulu dibiaskan kini semakin diperjelas. Belum lagi sekat sekat yang
mengatasnamakan golongan pergerakan,dalam lingkaran kaum intelektual.
Tidak
berlebihan jika tokoh tokoh pemuda Indonesia pada masa kebangkitan belum
tergantikan. Mahakaryanya akan tetap mendapatkan pengakuan dunia. Atas
pemikiran dan perjuangan memperoleh kemerdekaan.
Namun tak
bisa dipungkiri tokoh tokoh masa lampau sudah seharusnya berganti, pemuda masa
kini adalah mahasiswa yang harus menjadi tumpuan bangsa ini tetap tegak
berdiri. Tak ada lagi sekat apalagi keberagaman menjadi suatu penghalang. Kita
berdiri dalam satu tanah yang tak lagi memegang kearifan. Birokrat tempat kita
berdiripun sudah menyalahi aturan. Memihak pada segelintir orang yang
berkepentingan.
Inilah batas nyata yang sudah
seharusnya kita bongkar bersama-sama!
Tetap Berpikitr Merdeka!