Selasa, 25 Juni 2013

Batas Nyata!



Masih belum hilang dari ingatan kita gema peringatan sebuah mementum besar bagi bangsa ini. Tepat 20 Mei lalu peringatan hari kebangkitan nasional masih disuarakan. Tak melulu menandainya dengan rangkaian upacara dan aksi, ucapan selamatpun bertebaran dijejaring sosial menandai peristiwa yang kini menjadi tolak sejarah pergerakan pemuda Indonesia.
Tak bisa langsung berkesimpulan, pemuda negeri ini paham akan makna hari kebangkitan nasional,atau hanya sekadar melakukan perayaan meski pengguna jejaring sosial di indonesia 67,4 % adalah pemuda usia 13-24 tahun (data checkfacebook.com).
                                                                        ***
Kembali kepada sejarah bangsa, Kebangkitan Nasional ditandai munculnya sebuah organisasi pemuda Boedi Oetomo. Didirikan 20 Mei 1908 oleh Sutomo dan para aktivis mahasiswa STOVIA pada waktu itu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji. Organisasi pemuda pertama yang ada di nusantara.

Berdirinya Budi Utomo adalah momentum kebangkitan nasional yang mengbangkitkan semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme Indonesia. Semangat untuk mencapai sebuah pengakuan bangsa yang merdeka dan berdaulat dari kaum penjajah.
Bukan tak ada halangan pergerakan pemuda pada masa itu. Batas batas nyata dan sekat kedaerahan memang masih sangat terasa. Hingga muncul pemuda pemuda yang menyatakan semua itu adalah sekat yang harus disatukan dan batas yang harus ditanggalkan. Tak sampai disitu keterbatasan teknologi adalah hal nyata. Jangankan jaringan internet, berkirim pesanpun harus dibatasi jarak. Namun semua itu bukanlah hambatan karena jaringan kesamaan tekat dan pandangan sebuah amunisi ampuh, meski jarak terbentang dari ujung Sabang sampai Marauke.

Berbeda dengan kondisi saat ini. Survey yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat  jumlah pengguna internet di Indonesia akhir 2012 mencapai 63 juta orang atau 24,23 persen dari total populasi negara ini. Angka tersebut selalu meningkat dari tahun ketahun. Perkembangan inilah yang membuat akses informasi semakin mudah diakses oleh siapapun, dimanapun. Kini tak lagi berarti batas nyata dalam dunia yang serba maya.
Alhasil generasi saat ini adalah generasi yang seharusnya dapat berbuat lebih banyak, untuk bangsanya melampaui pemuda yang 105 tahun lalu menyerukan kebangkitan meski dalam keterbatasan. Namun faktanya generasi saat ini cendrung lebih apatis dan berpikir pragmatis. Keterbukaan akses informasi menjadikan mereka berada dalam batas batas yang mereka ciptakan sendiri. Menguasai teknologi hingga menghamba pada hasil dari sebuah moderenisasi.

Interaksi langsung yang dahulu dijunjung, kini tak hayal sebuah hal yang mahal. Antar individu yang dahulu merasa senasib sepenangungan kini tak bertegur meski dalam satu ruangan. Keasikan dengan perangkat perangkat gedzged keluaran terbaru yang tak pernah lepas dari genggam. Tak sadar bahwa mereka telah melapaskan sebuah nilai nilai awal kebangkitan yang dahulu dieluh eluhkan.
Sehingga jelas sudah generasi muda saat ini yang memaknai kebangkitan nasional hanya sebatas perayaan. Namun tidak paham sajarah apalagi esensi. Sekat nyata yang dahulu dibiaskan kini semakin diperjelas. Belum lagi sekat sekat yang mengatasnamakan golongan pergerakan,dalam lingkaran kaum intelektual.

Tidak berlebihan jika tokoh tokoh pemuda Indonesia pada masa kebangkitan belum tergantikan. Mahakaryanya akan tetap mendapatkan pengakuan dunia. Atas pemikiran dan perjuangan memperoleh kemerdekaan.

Namun tak bisa dipungkiri tokoh tokoh masa lampau sudah seharusnya berganti, pemuda masa kini adalah mahasiswa yang harus menjadi tumpuan bangsa ini tetap tegak berdiri. Tak ada lagi sekat apalagi keberagaman menjadi suatu penghalang. Kita berdiri dalam satu tanah yang tak lagi memegang kearifan. Birokrat tempat kita berdiripun sudah menyalahi aturan. Memihak pada segelintir orang yang berkepentingan.

Inilah batas nyata yang sudah seharusnya kita bongkar bersama-sama!

Tetap Berpikitr Merdeka!

Minggu, 17 Februari 2013

Peringatan 24 Tahun Tragedi Talangsari

Puluhan mahasiswa Universitas Lampung dan peserta diskusi sangat antusias saat Edi Arsyadad (35) mengungkap kembali tragedi kemanusiaan yang terjadi di Talangsari, Lampung 24 tahun silam. Edi yang merupakan saksi sejarah kejadian tersebut menggambarkan betapa kejam dan mengerikannya kejadian tersebut. Puluhan orang tak berdosa meninggal dunia dibunuh oleh oknum aparat keamaanan dengan cara yang keji pada saat itu.
 “Orang tua, anak-anak, bahkan ibu hamil menjadi korban tragedi kemanusiaan itu” Ujar Edi. 
Saat kejadian tersebut Edi baru berusia 11 tahun, namun masih sangat terekam jelas kejadian tersebut.
Talangsari merupakan nama salah satu tempat di Kecamatan Way Jepara, kabupaten Lampung Timur. 24 tahun silam, tepatnya 7 Februari 1989 terjadi pembantaian terhadap sekelompok warga oleh aparat keamanan. Pembantaian yang terjadi sebelum Reformasi tersebut dilatarbelakangi aktifitas warga Talangsari yang membentuk sebuah kelompok pengajian yang oleh aparat, pengajian tersebut dianggap bersebrangan dengan pancasila dan membahayakan keamanan nasional. Warga yang ikut pengajian tersebut akhirnya mendapat perlakuan yang kejam hingga pembunuhan masal.
Berawal dari tragedi tersebut, Kamis(27/2) Badan Eksekutif mahasiswa (BEM) Universitas Lampung bekerjasama dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan diskusi publik untuk memperingati 24 tahun tragedi Talangsari. 
Diskusi yang diselenggarakan di aula K FKIP Universitas Lampung tersebut mengangkat tema Menolak Lupa Tragedi Talangsari “ Memperbaiki praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab”. Dalam kesempatan tersebut hadir sebagai pembicara diantaranya perwakilan Kemenko-polhukam RI  Marsekal pertama Tudjo Pramono, SH., MH. , anggota komnas HAM Siti Noor laila, akademisi Universitas Lampung Dr Tisnanta, SH.,MH, dan Putri Kanesia dari KontraS. Dalam diskusi tersebut turut hadir para saksi sekaligus korban tragedi Talangsari dan para mahasiswa.
Dalam diskusi tersebut Siti Noor Laila perwakilan dari Komnas HAM, mengungkapkan peristiwa Talangsari merupakan peristiwa yang sudah termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat. Meskipun telah terjadi 24 tahun silam kasus ini harus tatap diusut. Pihak komnas HAM sejak awal selalu mengawal kasus Talangsari, Tetapi selalu menemui jalan buntuk ketika di Kejaksaan Agung, tukas Siti.
Sedangkan menurut akademisi Universitas Lampung, Dr. Tisnanta warga yang menjadi korban kasus Talangsari saat ini tidak hanya terisolir secara fisik karena fasilitas pembangunan desa yang tidak mereka rasakan, mereka juga menderita secara moril.
 “Tidak hanya fisik yang terisolir, tetapi hati mereka juga terisolir” Ujar Tisnanta.
Selain itu dalam diskusi juga Presiden BEM Universitas Lampung, Arjun Fatahillah mengungkapkan bahwa sebagai mahasiswa sudah seharusnya mahasiswa peduli dengan peristiwa yang terjadi disekitarnya. Talangsari merupakan peristiwa yang pernah terjadi di Lampung dan mahasiswa harus paham dengan peristiwa tersebut. karena masyarakatlah yang menjadi korban.
“sudah seharusnya mahasiswa menjadi penyambung lidah kepentingan masyarakat bawah kepada pemerintah,” ujar Arjun .
Arjun juga mengajak mahasiswa yang ada di Lampung untuk menolak lupa terhadap tragedi Talangsari ini.

Gadis Kecil Teman Ayatin

Ayatin seorang janda tua yang hanya tiggal bersama anak tirinya Karwati yang baru kelas dua Madrasah Ibtidaiyah.
Hidupnya cukup berat karena lumpuh dan katarak yang diderita bertahun-tahun.
Belum lagi vonis dokter yang menyatakan anak sematawayangnya itu menderita epilepsi.

Jalan Lambau, jalan kecil di pinggiran kota Metro.Jika dari kota Bandarlampung butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di tempat itu. Jalan kecil berbatu yang belum terlalu familiar karena warga sekitar kotapun banyak yang tak tahu lokasinya.
Deretan rumah saling berhimpit, hingga tak ada sela untuk halaman. Melewati gang sempit tepat di belakang rumah tingkat dua, sebuah bangunan berukuran tak lebih dari 5×5 meter tampak terbuka daun pintunya. Seorang wanita tua sedang duduk mengampar di atas karpet usang, dan gadis kecil sedang asik bermain sendiri di sampingnya.
Tak perlu bertanya kembali, dan tak keliru wanita itu adalah Ayatin atau lebih sering disapa mbah Tin karena usianya yang sudah lebih dari setengah abad. gadis kecil di sampingnya adalah Karwati.
Sejak suaminya meninggal lima tahun silam karena becaknya ditabrak motor di pasar yang tak jauh dari jalan Lambau. Wanita kelahiran Jombang ini hanya hidup berdua dengan Karwati anak berusia 9 tahun yang kini mulai bisa membantunya. Meskipun bukan lahir dari rahimnya Karwati sudah menyatu dangan dirinya, juga dengan kisah hidupnya.
***
Keakraban langsung terasa di ruangan tamu rumah mbah.Tin, ruangan tanpa plafon sehingga terlihat atap asbes yang sepertinya belum lama diganti. Di pojok ruangan tamu tumpukan sembako tersusun tak beraturan, jajanan plastik tergantung di tembok dan aroma ikan asin dalam keranjang plastik cukup menyengat hidung. Barang barang itu sebagian adalah hasil pemberian orang-orang yang kemudian kembali mbah jual sekedar untuk mendapat uang jajan si Karwati.
“mbah ini sengsara dari kecil nak”
kalimat pendek yang dirasa cukup mewakili perjalanan hidup terucap dari seorang mbah Tin.
Sejak dulu Ayatin kecil sudah hidup merantau dan jauh dari orang tua, sampai tumbuh dewasa Ayatin selalu hidup mandiri dengan berjualan di pasar Metro. hingga akhirnya memutuskan hidup bersama Karna wijaya suaminya yang kini telah almarhum. Hidupnya smakin lengkap dengan hadirnya Karwati sebagai anak. Meski Ayatin saat itu telah berumur dan suaminya kemudian meninggal saat Karwati masih balita.
Mbah Tin dan Karwati menjalani kehidupan hanya berdua. Demi sebuah penghidupan yang layak mbah Tin membanting tulang dengan berdagang. Hingga akhirnya suatu hari yang mbah pun tak ingat lagi. Dirinya jatuh sakit. Badannya terasa nyeri di bagian kaki hingga membuat mbah Tin tak mampu lagi berjalan.
saya gak bisa jalan, saya Lumpuh” ujar wanita yang rambutnya hampir memutih seluruhnya ini.
waktu masih sehat sering mandi tengah malam, karena banyak pesanan kue dari tetangga”
hal itu yang selalu mbah ungkapkan dengan logat jawanya yang kental ketika ditanya penyebab dirinya sakit. Karena keadaan ekonomi yang sulit, mbah Tin tak mampu berobat ke dokter. Dirinya hanya melakukan pengobatan secara tradisional dengan minum jamu.
Lumpuh yang diderita mbah Tin tak kunjung sembuh.
Keadaannya semakin parah ketika mata kanan mbah tertutup oleh selaput putih susu. Penyakit yang secara medis di sebut Katarak dan biasa diderita oleh orang yang telah lanjut usia.
Cobaan sepertinya tidak hanya diterima mbah Tin, Karwati yang kini duduk di kelas dua Madrasah Ibtidaiyah pernah megalami kecelakaan kecil. Dirinya terjatuh dari spedah saat di bonceng tetangga seusai sekolah. Semenjak itu mbah Tin mengungkapkan Karwati sering mengalami kejang-kejang. Jika terlalu capek kejang-kejangnya kumat.
Orang-orang menduga Karwati terkena ayan. Tapi mbah Tin tak tega hingga tak percaya dengan dugaan para tetangganya tersebut. Banyak diantara teman-teman atau para tetangga menjauhi Karwati karena penyakitnya dianggap bisa menular.
Lagi-lagi karena keadaan ekonomi, Karwati tak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diterima.
***
Selama mbah Tin sakit, Karwati lah yang merawat si mbah. tak jarang Karwati menimbakan air dan memandikan mbah Tin. Para tetangga juga merasa iba dengan keadaan mbah Tin dan Karwati, hingga mereka saling bergantian mengantar makanan.
Hingga akhirnya keadaan mbah Tin dan Karwati menggerakan sebuah ikatan Mahasiswa setempat untuk ikut membantu. Rio Dermawan mahasiswa STAIN bersama teman-teman akhirnya membawa mbah Tin untuk mengikuti Oprasi Katarak gratis oleh salah satu rumah sakit di Bandarlampung. Oprasi dilakukan pada 16 Maret 2012.
Tak hanya itu melalui dinas kesehatan setempat Karwati akhirnya dapat di bawa ke dokter. Walaupun akhirnya dokter memvonis Karwati positif menderita Epilepsi.
Saat ditemui di tempat praktiknya dikawasan jalan Jendral Soedirman kota Metro, dr. Soeradi Soedjarwo Sp.S dokter yang menangani Karwati mengungkapkan Karwati memang positif Epilepshi. Penyakit yang di derita Karwati bisa disembuhkan namun membutukhan waktu yang relative lama, yaitu 2-3 tahun asalkan teratur perikas ujar dokter Soeradi.
Penyakit Epilepsi yang di derita Karwati bisa di sebabkan karena faktor kelahiran yang sulit, keturunan ataupun riwayat benturan yang pernah terjadi di bagian kepala. Untuk sampai saat ini dr. Soeradi belum dapat memastikan secara pasti penyebab Karwati menderita Epilepsi. Karena belum dapat bertemu langsung dengan keluarganya.
Untuk saat ini Karwati diberikan terapi obat, sehingga Karwati harus teratur mengkonsumsi obat berbentuk kapsul 2 kali dalam satu har selama proses penyembuhan. Karwati juga jangan sampai kecapekan dan harus istirahat cukup.
dr.Soeradi juga menambahkan penyakit Epilepsi bukanlah penyakit menular jadi anggapan masyarakat tentang penyakit ini memang salah.
“Jadi tidak perlu menjauhi penderita Epilepsi”Ujar dokter yang masih yakin Karwati dapat sembuh total.

Meskipun masih harus berusaha keras untuk dapat berdiri di atas kakinya sendiri secara tegak,
Mbah Tin kini dapat tersenyum karena dapat melihat dengan jelas wajah gadis kecil yang selama ini menemani dirinya.
Gadis cantik teman menjalani sisah hidupnya.
Bersama orang orang yang juga masih peduli dengan sesama.

[End]

Metro, Lampung . Mei 2012

Sabtu, 12 Januari 2013

“AMAN atau NYAMAN”



Malala Yousafzai, gadis berusia 15 tahun di tembak anggota Taliban di bus seusai pulang sekolah di Lembah Swat, Pakistan Oktober 2012.... (Sumber Tempo).

Membaca berita tersebut, muncul berbagai pertanyaan, mengapa seorang gadis seusia Malala bisa menjadi sasaran pembunuhan. Seberapa berpengaruh gadis belia yang pasti masih senang memainkan boneka, atau hanya sekadar korban salah tembak saja.
Ternyata Malala bukanlah korban salah tembak, walaupun benar gadis belia ini masih senang memainkan boneka. Diusianya yang masih belia Malala menjadi gadis yang tidak biasa. sejak 2009 Malala berani memeperjuangkan HAK nya yang juga menjadi hak teman temanya.Melalui tulisan-tulisannya Malala selalu menyuarakan keadilan untuk mendapatkan pendidikan bagi seluruh anak perempuan. Karena dinegaranya para milisi Taliban membatasi pendidikan untuk anak perempuan.
Malala dianggap sebagai ancaman karena semangat pergerakannya, tidak dari usia. Apa yang dilakukan Malala bukan semata untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain. Meski tetap nyawanyalah yang  menjadi jaminan.
***
Menjadi Malala adalah berani berada diposisi yang berbeda. Menjadi seseorang yang keluar dari zona amannya. Posisi yang sepertinya tidak banyak lagi ditemukan di tengah golongan para intelektual yang selalu diharap menjadi pengusung perubahan (agent of change).
Malala memang dihadapkan dalam kondisi negara yang bergejolak. Tetapi, apakah harus menunggu mementum pergolakan untuk melakukan sebuah tindakan. Moment Reformasi 1998 tidak akan terulang, apalagi zaman Kartini yang menunggu sehabis gelappun sudah terlewatkan.
Tetapi apakah keadaan seperti sekarang menandakan kita telah berada pada titik aman. sepertinya para mahasiswa sekarang  hanya sudah merasa nyaman dengan dunianya. kenyamanan yang sengaja diciptakan bukan untuk antar pertemanan tetapi untuk mengejar kenyamanan individu. Hingga perubahan yang mampu diciptakan adalah perubahan dari proses pengalaman penempaan menjadi serba keinstanan.
Sosok insan akademisi yang tengah menempuh pendidikan tinggi seharusnya sadar akan banyaknya ilmu yang mereka harus dapatkan. Ilmu yang akan menjadi senjata pamungkas untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Mendampingi dan memperjuangkan kepentingan banyak orang, bukan sekadar mencari bekal mencapai kenyamanan pribadi atau justru mencari manfaat dari kesulitan masyarakat.
Berat memang beban yang seharusnya disandang, tetapi apakah kita sudah merasa ringan dengan dalih sudah semakin banyak kaum senasib sepenanggungan. Kaum  yang dahulu mampu menciptakan perubahan (Reformasi)  meski dalam jumlah yang jauh dari angka sekarang. Alasan yang sebenarnya sebuah pemaksaan.
Akankah semangat para mahasiswa untuk menuntut keadilan dan kepentingan masyarakat tak lagi dirasa sebagai ancaman oleh para pemangku kekuasaan. Hanya karena banyak yang telah memilih berada pada zona yang dirasa aman.
Jika seperti itu sepertinya memang  benar banyak mahasiswa yang telah memasuki zona nyaman dan memilih berada dalam posisi aman. Seperti Gadis usia 15 tahun yang akhirnya memilih bermain dengan bonekanya.

Tetap Berpikir Merdeka!