Minggu, 17 Februari 2013

Peringatan 24 Tahun Tragedi Talangsari

Puluhan mahasiswa Universitas Lampung dan peserta diskusi sangat antusias saat Edi Arsyadad (35) mengungkap kembali tragedi kemanusiaan yang terjadi di Talangsari, Lampung 24 tahun silam. Edi yang merupakan saksi sejarah kejadian tersebut menggambarkan betapa kejam dan mengerikannya kejadian tersebut. Puluhan orang tak berdosa meninggal dunia dibunuh oleh oknum aparat keamaanan dengan cara yang keji pada saat itu.
 “Orang tua, anak-anak, bahkan ibu hamil menjadi korban tragedi kemanusiaan itu” Ujar Edi. 
Saat kejadian tersebut Edi baru berusia 11 tahun, namun masih sangat terekam jelas kejadian tersebut.
Talangsari merupakan nama salah satu tempat di Kecamatan Way Jepara, kabupaten Lampung Timur. 24 tahun silam, tepatnya 7 Februari 1989 terjadi pembantaian terhadap sekelompok warga oleh aparat keamanan. Pembantaian yang terjadi sebelum Reformasi tersebut dilatarbelakangi aktifitas warga Talangsari yang membentuk sebuah kelompok pengajian yang oleh aparat, pengajian tersebut dianggap bersebrangan dengan pancasila dan membahayakan keamanan nasional. Warga yang ikut pengajian tersebut akhirnya mendapat perlakuan yang kejam hingga pembunuhan masal.
Berawal dari tragedi tersebut, Kamis(27/2) Badan Eksekutif mahasiswa (BEM) Universitas Lampung bekerjasama dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS) menyelenggarakan diskusi publik untuk memperingati 24 tahun tragedi Talangsari. 
Diskusi yang diselenggarakan di aula K FKIP Universitas Lampung tersebut mengangkat tema Menolak Lupa Tragedi Talangsari “ Memperbaiki praktik kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab”. Dalam kesempatan tersebut hadir sebagai pembicara diantaranya perwakilan Kemenko-polhukam RI  Marsekal pertama Tudjo Pramono, SH., MH. , anggota komnas HAM Siti Noor laila, akademisi Universitas Lampung Dr Tisnanta, SH.,MH, dan Putri Kanesia dari KontraS. Dalam diskusi tersebut turut hadir para saksi sekaligus korban tragedi Talangsari dan para mahasiswa.
Dalam diskusi tersebut Siti Noor Laila perwakilan dari Komnas HAM, mengungkapkan peristiwa Talangsari merupakan peristiwa yang sudah termasuk dalam kasus pelanggaran HAM berat. Meskipun telah terjadi 24 tahun silam kasus ini harus tatap diusut. Pihak komnas HAM sejak awal selalu mengawal kasus Talangsari, Tetapi selalu menemui jalan buntuk ketika di Kejaksaan Agung, tukas Siti.
Sedangkan menurut akademisi Universitas Lampung, Dr. Tisnanta warga yang menjadi korban kasus Talangsari saat ini tidak hanya terisolir secara fisik karena fasilitas pembangunan desa yang tidak mereka rasakan, mereka juga menderita secara moril.
 “Tidak hanya fisik yang terisolir, tetapi hati mereka juga terisolir” Ujar Tisnanta.
Selain itu dalam diskusi juga Presiden BEM Universitas Lampung, Arjun Fatahillah mengungkapkan bahwa sebagai mahasiswa sudah seharusnya mahasiswa peduli dengan peristiwa yang terjadi disekitarnya. Talangsari merupakan peristiwa yang pernah terjadi di Lampung dan mahasiswa harus paham dengan peristiwa tersebut. karena masyarakatlah yang menjadi korban.
“sudah seharusnya mahasiswa menjadi penyambung lidah kepentingan masyarakat bawah kepada pemerintah,” ujar Arjun .
Arjun juga mengajak mahasiswa yang ada di Lampung untuk menolak lupa terhadap tragedi Talangsari ini.

Gadis Kecil Teman Ayatin

Ayatin seorang janda tua yang hanya tiggal bersama anak tirinya Karwati yang baru kelas dua Madrasah Ibtidaiyah.
Hidupnya cukup berat karena lumpuh dan katarak yang diderita bertahun-tahun.
Belum lagi vonis dokter yang menyatakan anak sematawayangnya itu menderita epilepsi.

Jalan Lambau, jalan kecil di pinggiran kota Metro.Jika dari kota Bandarlampung butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di tempat itu. Jalan kecil berbatu yang belum terlalu familiar karena warga sekitar kotapun banyak yang tak tahu lokasinya.
Deretan rumah saling berhimpit, hingga tak ada sela untuk halaman. Melewati gang sempit tepat di belakang rumah tingkat dua, sebuah bangunan berukuran tak lebih dari 5×5 meter tampak terbuka daun pintunya. Seorang wanita tua sedang duduk mengampar di atas karpet usang, dan gadis kecil sedang asik bermain sendiri di sampingnya.
Tak perlu bertanya kembali, dan tak keliru wanita itu adalah Ayatin atau lebih sering disapa mbah Tin karena usianya yang sudah lebih dari setengah abad. gadis kecil di sampingnya adalah Karwati.
Sejak suaminya meninggal lima tahun silam karena becaknya ditabrak motor di pasar yang tak jauh dari jalan Lambau. Wanita kelahiran Jombang ini hanya hidup berdua dengan Karwati anak berusia 9 tahun yang kini mulai bisa membantunya. Meskipun bukan lahir dari rahimnya Karwati sudah menyatu dangan dirinya, juga dengan kisah hidupnya.
***
Keakraban langsung terasa di ruangan tamu rumah mbah.Tin, ruangan tanpa plafon sehingga terlihat atap asbes yang sepertinya belum lama diganti. Di pojok ruangan tamu tumpukan sembako tersusun tak beraturan, jajanan plastik tergantung di tembok dan aroma ikan asin dalam keranjang plastik cukup menyengat hidung. Barang barang itu sebagian adalah hasil pemberian orang-orang yang kemudian kembali mbah jual sekedar untuk mendapat uang jajan si Karwati.
“mbah ini sengsara dari kecil nak”
kalimat pendek yang dirasa cukup mewakili perjalanan hidup terucap dari seorang mbah Tin.
Sejak dulu Ayatin kecil sudah hidup merantau dan jauh dari orang tua, sampai tumbuh dewasa Ayatin selalu hidup mandiri dengan berjualan di pasar Metro. hingga akhirnya memutuskan hidup bersama Karna wijaya suaminya yang kini telah almarhum. Hidupnya smakin lengkap dengan hadirnya Karwati sebagai anak. Meski Ayatin saat itu telah berumur dan suaminya kemudian meninggal saat Karwati masih balita.
Mbah Tin dan Karwati menjalani kehidupan hanya berdua. Demi sebuah penghidupan yang layak mbah Tin membanting tulang dengan berdagang. Hingga akhirnya suatu hari yang mbah pun tak ingat lagi. Dirinya jatuh sakit. Badannya terasa nyeri di bagian kaki hingga membuat mbah Tin tak mampu lagi berjalan.
saya gak bisa jalan, saya Lumpuh” ujar wanita yang rambutnya hampir memutih seluruhnya ini.
waktu masih sehat sering mandi tengah malam, karena banyak pesanan kue dari tetangga”
hal itu yang selalu mbah ungkapkan dengan logat jawanya yang kental ketika ditanya penyebab dirinya sakit. Karena keadaan ekonomi yang sulit, mbah Tin tak mampu berobat ke dokter. Dirinya hanya melakukan pengobatan secara tradisional dengan minum jamu.
Lumpuh yang diderita mbah Tin tak kunjung sembuh.
Keadaannya semakin parah ketika mata kanan mbah tertutup oleh selaput putih susu. Penyakit yang secara medis di sebut Katarak dan biasa diderita oleh orang yang telah lanjut usia.
Cobaan sepertinya tidak hanya diterima mbah Tin, Karwati yang kini duduk di kelas dua Madrasah Ibtidaiyah pernah megalami kecelakaan kecil. Dirinya terjatuh dari spedah saat di bonceng tetangga seusai sekolah. Semenjak itu mbah Tin mengungkapkan Karwati sering mengalami kejang-kejang. Jika terlalu capek kejang-kejangnya kumat.
Orang-orang menduga Karwati terkena ayan. Tapi mbah Tin tak tega hingga tak percaya dengan dugaan para tetangganya tersebut. Banyak diantara teman-teman atau para tetangga menjauhi Karwati karena penyakitnya dianggap bisa menular.
Lagi-lagi karena keadaan ekonomi, Karwati tak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diterima.
***
Selama mbah Tin sakit, Karwati lah yang merawat si mbah. tak jarang Karwati menimbakan air dan memandikan mbah Tin. Para tetangga juga merasa iba dengan keadaan mbah Tin dan Karwati, hingga mereka saling bergantian mengantar makanan.
Hingga akhirnya keadaan mbah Tin dan Karwati menggerakan sebuah ikatan Mahasiswa setempat untuk ikut membantu. Rio Dermawan mahasiswa STAIN bersama teman-teman akhirnya membawa mbah Tin untuk mengikuti Oprasi Katarak gratis oleh salah satu rumah sakit di Bandarlampung. Oprasi dilakukan pada 16 Maret 2012.
Tak hanya itu melalui dinas kesehatan setempat Karwati akhirnya dapat di bawa ke dokter. Walaupun akhirnya dokter memvonis Karwati positif menderita Epilepsi.
Saat ditemui di tempat praktiknya dikawasan jalan Jendral Soedirman kota Metro, dr. Soeradi Soedjarwo Sp.S dokter yang menangani Karwati mengungkapkan Karwati memang positif Epilepshi. Penyakit yang di derita Karwati bisa disembuhkan namun membutukhan waktu yang relative lama, yaitu 2-3 tahun asalkan teratur perikas ujar dokter Soeradi.
Penyakit Epilepsi yang di derita Karwati bisa di sebabkan karena faktor kelahiran yang sulit, keturunan ataupun riwayat benturan yang pernah terjadi di bagian kepala. Untuk sampai saat ini dr. Soeradi belum dapat memastikan secara pasti penyebab Karwati menderita Epilepsi. Karena belum dapat bertemu langsung dengan keluarganya.
Untuk saat ini Karwati diberikan terapi obat, sehingga Karwati harus teratur mengkonsumsi obat berbentuk kapsul 2 kali dalam satu har selama proses penyembuhan. Karwati juga jangan sampai kecapekan dan harus istirahat cukup.
dr.Soeradi juga menambahkan penyakit Epilepsi bukanlah penyakit menular jadi anggapan masyarakat tentang penyakit ini memang salah.
“Jadi tidak perlu menjauhi penderita Epilepsi”Ujar dokter yang masih yakin Karwati dapat sembuh total.

Meskipun masih harus berusaha keras untuk dapat berdiri di atas kakinya sendiri secara tegak,
Mbah Tin kini dapat tersenyum karena dapat melihat dengan jelas wajah gadis kecil yang selama ini menemani dirinya.
Gadis cantik teman menjalani sisah hidupnya.
Bersama orang orang yang juga masih peduli dengan sesama.

[End]

Metro, Lampung . Mei 2012