Sabtu, 12 Januari 2013

“AMAN atau NYAMAN”



Malala Yousafzai, gadis berusia 15 tahun di tembak anggota Taliban di bus seusai pulang sekolah di Lembah Swat, Pakistan Oktober 2012.... (Sumber Tempo).

Membaca berita tersebut, muncul berbagai pertanyaan, mengapa seorang gadis seusia Malala bisa menjadi sasaran pembunuhan. Seberapa berpengaruh gadis belia yang pasti masih senang memainkan boneka, atau hanya sekadar korban salah tembak saja.
Ternyata Malala bukanlah korban salah tembak, walaupun benar gadis belia ini masih senang memainkan boneka. Diusianya yang masih belia Malala menjadi gadis yang tidak biasa. sejak 2009 Malala berani memeperjuangkan HAK nya yang juga menjadi hak teman temanya.Melalui tulisan-tulisannya Malala selalu menyuarakan keadilan untuk mendapatkan pendidikan bagi seluruh anak perempuan. Karena dinegaranya para milisi Taliban membatasi pendidikan untuk anak perempuan.
Malala dianggap sebagai ancaman karena semangat pergerakannya, tidak dari usia. Apa yang dilakukan Malala bukan semata untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain. Meski tetap nyawanyalah yang  menjadi jaminan.
***
Menjadi Malala adalah berani berada diposisi yang berbeda. Menjadi seseorang yang keluar dari zona amannya. Posisi yang sepertinya tidak banyak lagi ditemukan di tengah golongan para intelektual yang selalu diharap menjadi pengusung perubahan (agent of change).
Malala memang dihadapkan dalam kondisi negara yang bergejolak. Tetapi, apakah harus menunggu mementum pergolakan untuk melakukan sebuah tindakan. Moment Reformasi 1998 tidak akan terulang, apalagi zaman Kartini yang menunggu sehabis gelappun sudah terlewatkan.
Tetapi apakah keadaan seperti sekarang menandakan kita telah berada pada titik aman. sepertinya para mahasiswa sekarang  hanya sudah merasa nyaman dengan dunianya. kenyamanan yang sengaja diciptakan bukan untuk antar pertemanan tetapi untuk mengejar kenyamanan individu. Hingga perubahan yang mampu diciptakan adalah perubahan dari proses pengalaman penempaan menjadi serba keinstanan.
Sosok insan akademisi yang tengah menempuh pendidikan tinggi seharusnya sadar akan banyaknya ilmu yang mereka harus dapatkan. Ilmu yang akan menjadi senjata pamungkas untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Mendampingi dan memperjuangkan kepentingan banyak orang, bukan sekadar mencari bekal mencapai kenyamanan pribadi atau justru mencari manfaat dari kesulitan masyarakat.
Berat memang beban yang seharusnya disandang, tetapi apakah kita sudah merasa ringan dengan dalih sudah semakin banyak kaum senasib sepenanggungan. Kaum  yang dahulu mampu menciptakan perubahan (Reformasi)  meski dalam jumlah yang jauh dari angka sekarang. Alasan yang sebenarnya sebuah pemaksaan.
Akankah semangat para mahasiswa untuk menuntut keadilan dan kepentingan masyarakat tak lagi dirasa sebagai ancaman oleh para pemangku kekuasaan. Hanya karena banyak yang telah memilih berada pada zona yang dirasa aman.
Jika seperti itu sepertinya memang  benar banyak mahasiswa yang telah memasuki zona nyaman dan memilih berada dalam posisi aman. Seperti Gadis usia 15 tahun yang akhirnya memilih bermain dengan bonekanya.

Tetap Berpikir Merdeka!