Malala Yousafzai, gadis berusia 15 tahun di tembak anggota Taliban di bus seusai
pulang sekolah di Lembah Swat, Pakistan Oktober 2012.... (Sumber Tempo).
Membaca berita tersebut, muncul
berbagai pertanyaan, mengapa seorang gadis seusia Malala bisa menjadi sasaran
pembunuhan. Seberapa berpengaruh gadis belia yang pasti masih senang memainkan
boneka, atau hanya sekadar korban salah tembak saja.
Ternyata Malala bukanlah korban
salah tembak, walaupun benar gadis belia ini masih senang memainkan boneka. Diusianya
yang masih belia Malala menjadi gadis yang tidak biasa. sejak 2009 Malala
berani memeperjuangkan HAK nya yang juga menjadi hak teman temanya.Melalui
tulisan-tulisannya Malala selalu menyuarakan keadilan untuk mendapatkan pendidikan
bagi seluruh anak perempuan. Karena dinegaranya para milisi Taliban membatasi pendidikan
untuk anak perempuan.
Malala dianggap sebagai ancaman
karena semangat pergerakannya, tidak dari usia. Apa yang dilakukan Malala bukan
semata untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain. Meski tetap nyawanyalah yang menjadi jaminan.
***
Menjadi Malala adalah berani
berada diposisi yang berbeda. Menjadi seseorang yang keluar dari zona amannya. Posisi
yang sepertinya tidak banyak lagi ditemukan di tengah golongan para intelektual
yang selalu diharap menjadi pengusung perubahan (agent of change).
Malala memang dihadapkan dalam
kondisi negara yang bergejolak. Tetapi, apakah harus menunggu mementum pergolakan untuk melakukan
sebuah tindakan. Moment Reformasi 1998 tidak akan terulang, apalagi zaman Kartini yang
menunggu sehabis gelappun sudah terlewatkan.
Tetapi apakah keadaan seperti
sekarang menandakan kita telah berada pada titik aman. sepertinya para
mahasiswa sekarang hanya sudah merasa
nyaman dengan dunianya. kenyamanan yang sengaja diciptakan bukan untuk antar
pertemanan tetapi untuk mengejar kenyamanan individu. Hingga perubahan
yang mampu diciptakan
adalah perubahan dari proses pengalaman penempaan menjadi serba keinstanan.
Sosok insan akademisi yang tengah menempuh
pendidikan tinggi seharusnya sadar akan banyaknya ilmu yang mereka harus
dapatkan. Ilmu yang akan menjadi senjata pamungkas untuk mengabdikan diri
kepada masyarakat. Mendampingi dan memperjuangkan kepentingan banyak orang, bukan
sekadar mencari bekal mencapai kenyamanan pribadi atau justru mencari manfaat
dari kesulitan masyarakat.
Berat memang beban yang
seharusnya disandang, tetapi apakah kita sudah merasa ringan dengan dalih sudah
semakin banyak kaum senasib sepenanggungan. Kaum yang dahulu mampu menciptakan perubahan
(Reformasi) meski dalam jumlah yang jauh
dari angka sekarang. Alasan yang sebenarnya sebuah pemaksaan.
Akankah semangat para mahasiswa untuk
menuntut keadilan dan kepentingan masyarakat tak lagi dirasa sebagai ancaman
oleh para pemangku kekuasaan. Hanya karena banyak yang telah memilih berada
pada zona yang dirasa aman.
Jika seperti itu sepertinya
memang benar banyak mahasiswa yang telah memasuki zona
nyaman dan memilih berada dalam posisi aman. Seperti Gadis usia 15 tahun yang
akhirnya memilih bermain dengan bonekanya.
Tetap Berpikir Merdeka!