Minggu, 03 Juni 2012

Emas hitam dalam kuali besar Sawahlunto




Berada disebuah lembah yang menyimpan harta
Sawahlunto menjadi saksi bisu kejamnya bangsa penjajah
Dan kini bertekat menjadi kota pariwisata tambang yang berbudaya.

Berada di Sumatera Barat, kota yang kental akan kebudayaan melayu. Sebuah kuali alam besar kini mulai dikenal. 95 Kilometer timur laut dari Padang, Kota Sawahlunto berada. Diantara bukit yang kini masih asri Sawahlunto dan Lembah Segar menyatu membentuk kota dalam cekungan.
Sawahlunto dikenal dengan emas hitamnya. Sebutan untuk batubara yang digali dari lembah yang disekitarnya mengalir empat sungai, yang salah satunya menjadi nama kota yang kini genap 123 tahun pada 1 Desember 2011 lalu .
Menyisiri setiap sudut kota akan merasa berada di masa kolonial Belanda. Bangunan dengan arsitektur klasik berderet. Dinding bangunan yang kokoh, dengan cat yang didominasi warna putih adalah sisa kejayaan kota pertambangan Batubara di Sumatera Barat ini.
Lahirnya kota Sawahlunto tidak lepas dari ketamakan bangsa penjajah. Dengan misi menguasai kekayaan setiap daratan hingga mencapai tanah Minangkabau. Pada 1867 seorang berkebangsaan Belanda Willem Hendrik de Grave menemukan batubara disepanjang Sungai Ombilin. Sungai terbesar yang membelah kota.
Melihat potensi yang sangat besar bangsa Belanda berusaha menguasai emas hitam yang ada di Sawahlunto. Cara-cara kejam digunakan dengan mempekerjakan tenaga pribumi. Pada masa penjajahan pekerja adalah orang-orang tahanan yang berasal dari tanah Jawa. Pekerja yang dikenal sebagai orang rantai.
Orang rantai adalah pekerja paksa. Sebutan orang rantai  mereka sandang karena ikatan rantai melingkari kaki dan tangan pekerja. Rantai yang diberi pemberat besi dipasang agar mereka tak bisa melarikan diri sedangkan rantai tangan agar mereka tak melawan.
 Tahun 1889 kegiatan pertambangan mualai dilakukan. Setiap orang rantai harus menggali tambang batubara dengan tenaganya,dan menganggkutnya kembali troli yang berisi batubara. Orang rantai menarik troli dengan tangan dan kaki yang terlilit rantai. Banyak akhirnya dari mereka  yang meninggal dan dikubur di sebuah kawasan sekitar tambang. Dikuburkan dalam posisi berdiri pada makam yang tak dilengkapi nama.
hanya tertulis angka di nisannya.
***
Penjajahan akhirnya berakhir seiring habisnya emas hitam di Sawahlunto. Sisa-sisa kejayaan kota tambang masih kokoh berdiri hingga kini. Hingga pada usia ke 123 tahun.
Memasuki kota Sawahlunto dari kejauhan terlihat menara menjulang tinggi sisa sisa kejayaan perusahaan tambang. beberapa bangunan bercirikan minang terlihat menjulang dari kejauhan. Rumah Gadang istilah yang biasa dipakai berderet di tengah kota.
Gedung gedung peninggalan kolonial berubah menjadi bangunan yang dipenuhi orang.kota yang sempat mati kini menjadi kota yang tak pernah lengang. Beberapa bengunan sedang dipugar, namun tetap mengikuti bangunan awal.
Sebuah gedung bergaya belanda Berdiri gagah. Bengunan bercat putih dengan jendela kaca  besar. Di depan bangunan terdapat plang bertuliskan Galeri Info Box. Gedung yang kini menjadi saksi penderitaan orang rantai. Di dalam bangunan tergambar jelas sisa-sisa benda peninggalan orang rantai. Gambar pada masa itu tersusun rapih di dinding lantai dua.
Di halaman belakang terdapat sebuah lubang trowongan. Pintu trowongan berbentuk setengah lingkaran dan tak  lebih dari 3 meter tinginya. Kelembaban terasa ketika memasuki lorong ditambah dengan rembesan air di kanan dan kiri dindingnya. Lorong tersebut kini telah dikelola pemerintah, lampu penerangan dipasang disetiap sudut. Lorong yang dahulu dilewati orang rantai dengan menarik troli emas hitam,bergelut dengan pasakitan.  Lorong yang kini dikenal sebagai lorong Mbah Soero. Nama seorang mandor yang disegani pada masa penambangan batu bara zaman belanda.
Kota Sawahlunto kini menjadi sebuah wisata kota tua ditengah perkembangan zaman. Beberapa gedung penuh sejarah mulai dikelola pemerintannya. Museum , gedung tua dan masyarakat kini menyatu.
Menuju satu tujuan.
Sawahlunto Kota pariwisata tambang yang berbudaya.
[end]

 Sawahlunto, 6 maret 2012

Oleh oleh dari pelatihan Jurnalistik di LPM. Suara Kampus IAIN Imam Bonjol Padang.
Rudiyansyah
UKPM Teknokra Universitas Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar